Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

CARA MEMLIH SUAMI MENURUT ISLAM


بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ ۝

وَمِن ءَآيٰتِهٖ أَن خَلَقَ لَكُمْ مِّن أَنفُسِكُمْ أَزْوٰجًا لِتَسْكُنُوآ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَرَحْمَةًۚ إِنَّ فِى ذٰلِكَ لأَٰيَـٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ۝

” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” ( Ar-Rum (30) ayat; 21).
Ketenteraman jiwa dari kehendak nafsu merupakan masalah asas yang pertama bagi kedua suami-isteri. Perkataan ” Ketenteraman Jiwa” amat mendalam maknanya.
Islam telah meletakkan kaedah-kaedah pokok sebagai dasar pertimbangan yang sehat dalam memilih suami. Jika setiap orang mengikut, mengambil berat dan melaksanakan dasar-dasar tersebut tentu mereka dapat menyelamatkan puteri-puterinya dari berbagai macam kesukaran, penderitaan dan kemalangan yang menimpah ke atas mereka.
Dasar Perimbangan Pertama

Dasar pertimbangan pertama ialah; Nabi SAW bersabda:

إِذَا أَتَا كُمْ مَن تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُن فِتْنَةٌ فِى اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

“Jika ( seorang lelaki) datang ( untuk meminang anak perempuan kamu) dan kamu berpuas hati dengan agamanya serta akhlaknya, nikahkanlah ia ( dengan anak perempuan kamu). Jika hal itu tidak kamu lakukan maka akan terjadi fitnah di (muka) bumi.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA itu, Rasulullah SAW meletakkan asas pertama yang kuat, dasar yang kukuh, prinsip yang sehat dan kaedah yang tepat dalam memilih suami.
Beliau SAW menyeru supaya dalam hal memilih suami hendaklah lebih mendahulukan pertimbangan soal akhlak dan agama daripada pertimbangan-pertimbangan lainnya. Baginda SAW menekankan supaya kita rela menerima dua hal itu dalam memilih suami akan dapat menimbulkan fitnah da kerusakan yang luas di kalangan masyarakat. Kerusakan tersebut akan dapat menghancurkan nasib anak gadis yang shalih jika ia diserahkan sebagai isteri kepada seorang lelaki fasik dan durhaka, hanya lelaki itu mempunyai banyak harta atau mempunyai kedudukan yang tinggi.
Seorang lelaki datang menemui Al-Hasan bin Ali RA, meminta nasihat: dengan lelaki yang bagaimanakah yang layak dikawinkan dengan putrinyya. Ia berkata: “Anak perempuanku dipinang oleh beberapa orang lelaki, dengan siapakah yang sebaiknya aku mengawinkannya?” Al- Hasan menjawab: “Kawinkanlah dia dengan lelaki yang bertaqwa kepada Allah, sebab kalau ia mencintai isterinya ia pasti menghormatinya, tetapi kalau tidak menyukainya ia pasti tidak akan berlaku dzalim terhadapnya.”
Dasar Pertimbangan Yang Kedua
Dasar pertimbangan yang kedua
Allah SWT berfirman:

الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْمُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَيَنكِحُهَآ إِلاَّ زَانٍ أَوْمُشْرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ ۝

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” ( An-Nur (24) ayat
Al-Fudhail bin Iyyadl berkata: “Siapa yang menghormati ahli bid’ah berarti ia memberi bantuan untuk meruntuhkan Islam, dan siapa yang tersenyum kepada ahli bid’ah maka ia telah menganggap remeh apa yang diturunkan Allah SWT kepada Muhammad SAW, dan siapa yang menikahkan puretinya kepada mubtadi’ maka ia telah memutuskan hubungan silaturrahimnya, dan siapa yang mengiringi jenazah seorang mubtadi’ akan senantiasa berada dalam kemarahan Allah sampai ia kembali.” ( Syarhus Sunnah : 139).”
” Barangsiapa menikahkan anak perempuannya dengan lelaki fasik ( durhaka) berarti ia telah memutuskan hubungan silaturrahim dengan anaknya sendiri.”
Atsar dari Anas RA itu,  meletakkan asas kedua, yakni asas yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam memilih seorang calon suami bagi gadisnya. Asas yang kedua ini berkaitan erat dengan asas yang pertama tadi, yaitu jika tidak diambil perhatian dan tidak kita laksanakan, pasti akan mengakibatkan fitnah dan kerusakan yang luas di dalam kehidupan masyarakat.
Apakah yang lebih besar selain fitnah atau malapetaka yang menimpah gadis-gadis yang berjiwa bersih dan baik yang jatuh ke tangan kaum lelaki durjana yang tidak menjaga hubungan kekeluargaan dan tidak menghormati akad perjanjian.
Allah SWT berfirman:

وَأَخَذْنَ مِنكُمْ مِيثَـٰقًا غَلِيظًا۝

” Dan mereka ( isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat ( berat).” ( An-Nisa (4) ayat; 21).
Kalau nasib gadis-gadis yang jatuh ke dalam cengkaman mereka, jika terus-menerus menjadi isteri-isteri mereka, tentu akan kehilangan keyakinan agamanya, atau pasti akan kehilangan maslahat keduaniaannya jika wanita-wanita itu lebih mengutamakan keselamatan agamanya demi keridhaan Allah SWT.
Betapa banyak gadis yang hidup bersih dan suci di tengah-tengah keluarganya, tetapi setelah hidup bersama suaminya ia hanyut ke dalam arus kedurhakaan hingga berubah peragai dan tingka-lakunya. Itulah akibat tersalah pilih yang dilakukan oleh keluarganya pada waktu memilih calon suami baginya, atau karena keluarganya terpengaruh dengan harta dan kedudukan calon menantunya.
Gadis yang pada mulanya baik akhirnya terseret oleh kebiasaan buruk suaminya, suka minum arak, berjudi, meninggalkan pakaian hijab, bergaul bebas dengan lelaki lain yang bukan muhrimnya, meninggalkan shalat, puasa dan bentuk-bentuk ibadah yang lain, semuanya itu jelas merupakan kerugian yang nyata sekali bagi dirinya. Maka itu di peringatkan “Barangsiapa mengawinkan anak perempuannya dengan lelaki fasiq berarti ia telah memutuskan hubungan silaturrahim dengan anaknya sendiri.”
Anak perempuan adalah tali silaturrahim yang terkuat dan lebih mudah menerima nasihat dan lebih patuh kepada orang tuanya daripada anak lelaki, karena itu seorang ayah yang mengabaikan kewajiban terhadap anak perempuannya, sesungguhnya ia telah berbuat kezhaliman yang besar, hampir dengan kezhaliman orang-orang yang memutuskan hubungan silaturrahim, Allah SWT menyatakan sebagai orang-orang terkutuk. Allah SWT berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ وَتُقْطِعُوٓا أَرْحَامَكُمْ ۝ أُوْلَـٰٓئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰٓ أَبْصَـٰرَهُمْ ۝

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang di laknat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” ( Muhammad ( 47) ayat; 22-23).
Kalau ada larangan datangnya dari pembawaan syariat, maka haruslah seorang ayah memilih siapakah bakal menjadi menantun oleh anak gadisnya.
Rasulullah SAW melarang ayah mengawinkan anak gadisnya dengan lelaki fasiq, lebih lagi Allah melarang seorang ayah mengawinkan anak gadisnya dengan seorang lelaki yang meninggalkan kewajiban, seperti shalat dan puasa, setengah ulama berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban zakat di mana hartanya telah mencapai haul dan nisab, atau orang yang mengingkari kewajiban zakat, hukumnya wajib di perangi mereka sampai mereka membayarkan yang telah ditetap oleh Rasulullah SAW; apalagi orang yang meninggalkan shalat?
Rasulullah SAW bersabda:

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ….وَفى رواية، اَلْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ، فَمَن تَرَكَهَا فَقَدْكَفَرَ

” Di antara seseorang hamba dengan kufur ( kekafiran), ialah meninggalkan shalat, dalam riwayat yang lain yang berasal dari Buraidah RA berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Perjanjian ( batas) yang diletakkan antara kita umat Islam dengan orang kafir, ialah shalat. Maka barangsiapa meninggalkan shalat kafirlah dia.” ( HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i dan Tarmizi).
Dasar Pertimbangan Ketiga
Dalam memilih jodoh janganlah ada orang yang memandang soal-soal lahir, karena soal-soal lahir sering tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Jangan memandang material, karena material tidak akan bertahan lama dan akan segera lenyap,. Jangan memandang kedudukan, karena kedudukan hanya bersifat pinjaman, dan jangan pula memandang pangkat, karena pangkat itu sesungguhnya hanya sementara saja.
Suatu hal yang tidak dapat diterima di dalam Islam, ialah” Seorang bapak kalau mau mengawinkan anaknya perempuannya, hanya dengan lelaki yang sanggup membayar maskawin yang tinggi.” Ada juga seorang bapak dia tidak mau mengawinkan anak perempuannya, kecuali dengan lelaki yang berpangkat atau berkedudukan tinggi, atau dengan lelaki yang kaya, tanpa memandang dari segi akhlak dan penghayatan agamanya.
Islam tidak memandang anak gadis sebagai barang dagangan yang boleh dijualbelikan. Islam tidak menganggap perkawinan sebagai kontrak perniagaan, tetapi Islam memandangnya sebagai pertemuan antara dua sifat utama yang ada pada seseorang lelaki dan wanita, agar dengan perkawinan itu dapat diwujudkan tujuan yang amat penting, yaitu kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta keturunan yang shalih dan shalihah. Oleh itu seseorang lelaki harus memberi perhatian kepada sifat-sifat yang ada pada wanita pilihannya. Sebab kebahagiaan suami banyak tergantung pada keutamaan sifat isterinya, demikian pula sebaliknya, kebahagian seorang isteri banyak tergantung pada keutamaan sifat suaminya, bukan bergantung pada kedudukannya, pangkat atau kekayaannya.
Persamaan antara calon suami-isteri dalam hal agama dan akhlak harus menjadi dasar pertimbangan pertama untuk menerima pinangan yang diajukkan oleh seorang lelaki. Bila tidak dapat persamaan dalam dua hal itu pinangan patut ditolak. Adapun persamaan dalam segi sosial yang pada umumnya diukur berdasarkan harta kekayaan, kedudukan, pangkat dan asal keturunan sama sekali tidak boleh diutamakan atau dipandang lebih penting selain akhlak dan agama.
Allah SWT berfirman:

وَ أَنكِحُوا اْلأَيَـٰمَـٰى مِنكُمْ وَالصَّـٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهٖۗ وَاللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ۝

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak ( berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas ( pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  ( An-Nur (24); ayat; 32).
Inilah cara Rasulullah SAW ketika beliau melaksanakan perintah Allah SWT mengenai hal itu bagi putrinya Fathimah Az-Zahra RA anha…Baginda SAW memilih calon suami dari seorang lelaki yang patuh kepada agamanya, berani dan teguh imannya, yaitu Ali bin Abi Thalib RA. Ia hanya mampu memberi maskawin senilai 4 dirham.
Lihatlah juga Sa’id bin Al-Musayyab, seorang ulama kenamaan dari kaum Tabi’in ( generasi sesudah generasi para sahabat nabi). Dia mengikuti jejak Rasulullah SAW dalam memilih calon suami bagi anak perempuannya, yaitu seorang lelaki miskin dan shalih, Sa’id bin Musayyab lebih mengutamakan lelaki yang demikian itu daripada putera seorang ketua negara. Ia sama sekali tidak memandang soal-soal kedudukan, pangkat, kekuasaan, harta dan nilai-nilai lain yang akan hilang. Menantu pilihannya itu itu ialah seorang lelaki miskin bernama ‘Abdullah bin Wad’ah!.
Mari kia renungkan kisah yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Wada’ah sendiri mengenai kejadian itu:
“Kata Abdullah bin Wad’ah: Aku sering bergaul dengan Sa;id bin Al-Musayyab, tetapi selam beberapa hari aku tidak bertemu dengannya. Ketika aku datang ke rumahnya ia bertanya: ” Di manakah engkau selama ini?
Aku menjawab: “Aku sedih karena isteriku telah meninggal dunia; Ia menegurku:
Mengapa engkau tidak memberitahu kami agar kami dapat melihatnya?
Ketika aku hendak berdiri dan beransur pergi, ia bertanya: Apakah engkau tidak ingin beristeri lagi? Aku menjawab: Semoga Allah mengasihani anda!. Siapakah yang mau mengawini diriku? Aku tidak mempunyai apa-apa selain dua atau tiga dirham!” Ia menjawab: Aku!” Aku bertanya: “Benarkah anda melakukan hal itu?” Ia menjawab! “Ya!.
Ia lalu mengucapkan kesyukuran ke hadirat Allah dan mengucapkan salawat ke atas Rasulullah SAW, kemudian berjanji akan mengawinkan diriku dengan anak perempuannya, atas dasar maskawin dua dirham. Setelah itu aku bernasur pergi. Aku tidak tahu bagaimana aku dapat meraihkan perkawinanku itu. Sambil berjalan pulang ke rumah, aku memikirkan kepada siapakah aku dapat meminjam wang. Setelah menunaikan shalat Maghrib di Masjid, aku terus menuju kerumah untuk beristirahat. Ketika itu aku sedang berpuasa. Aku makan malam dengan roti kering disapu dengan minyak makan. Tiba-tiba terdengar pintu diketuk orang, aku bertanya: “Siapa?” Orang di luar menjawab: Sa’id!”
Semua orang yang kukenal bernama Sa’id aku beri perhatian, kecuali Sa’id bin Al-Musayyab, karena aku tahu sendiri selama 40 tahun ia tidak pernah ke luar rumah selain ke masjid. Aku membuka pintu, ternyata yang datang adalah Sa’id bin Al-Musayyab. Pada saat itu aku menyangka ia sudah mengubah niat semula untuk mengawinkan diriku dengan anak perempuannya. Aku berkata kepadanya:
“Wahai Abu Muhammad ( nama panggilan Sa’id) kalau anda menyuruh orang memanggilku, aku pasti datang ke rumah anda!” Ia menjawab: ” Tidak! Aku lebih berhak datang kepada engkau?” Aku bertanya: “Apa gerangan yang anda perintahkan?” Ia menjawab: ” Engkau sekarang telah menjadi duda ( tanpa isteri). Patutlah engkau beristeri.” Aku tidak suka engkau tidur seorang diri, walau hanya semalam. Inilah isterimu!”
Sambil berkata demikian Sa’id menarik seorang wanita ( berpakaian hijab tertutup rapat) yang berdiri di belakangnya, kemudian Sa’id memimpin wanita itu masuk ke dalam rumah, lalu pintu ditutupnya kembali. Setelah mengunci pintu aku cepat-cepat menuju ke sebuah piring tempat roti dan minyak, lalu kuambil dan kuletakkan di tempat yang agak gelap agar tidak dilihat oleh wanita itu. Setelah itu aku naik ke atas anjung rumah ( bahagian atas rumah yang biasanya digunakan sebagai tempat menjemur pakaian atau tempat beristirahat di waktu sore hari). Aku panggil beberapa tetangga supaya mendekatiku. Mereka bertanya:”
“Wahai ‘Abdullah, apa gerangan dengan kamu!” Aku menjawab: ” Ya, kamu belum tahu. Hari ini Sa’id bin Musayyab mengawinkan diriku dengan putrinya. Tanpa pengetahuan orang lain malam tadi ia datang ke rumahku menghantarkan putrinya itu…..” Mereka bertanya: “Sa’id mengawinkan engkau dengan putrinya?” Ya!” benar. Mereka segera turun dari anjung rumah, masing-masing untuk melihat isteriku. Tidak berapa lama kemudian ibuku mendengar kabar bahwa aku telah mempunyai isteri lagi. Ia berkata: ” Wahai Abdullah, dengarlah: “Engkau tidak boleh menyentuh dia selama tiga hari, sebelum aku ia kudandani…….Selama tiga hari aku tak mendekati isteriku, selepas itu barulah aku menggaulinya, dan ternyata ia sangat cantik. Di samping itu ia seorang wanita penghafal Al-Qur’an, memahami Sunnah Rasulullah SAW sedalam-dalamnya, dan seorang isteri yang mengenal hak dan kewajibannya terhadap suami. Selama satu bulan Sa’id bin Musayyab tidak menjengukku dan aku pun tidak menjenguknya. Selepas satu bulan aku datang ke rumahnya. Ketika itu ia sedang mengajar murid-muridnya. Aku mengucapkan salam dan ia pun menjawab ucapan salamku. Setelah murid-muridnya keluar meninggalkan tempat, barulah ia bertanya: “Bagaimanakah keadaan manusia itu? ( orang yang dimaksud ialah putrinya).” Aku menjawab: “Alhamdulillah, baik-baik saja.
Setelah kami berbincang-bincang beberapa lama aku bermohon untuk pulang. Sa’id memberi uang kepadaku sebanyak 20,000 Dirham.
Begitulah kisah perkawinan ‘Abdullah bin Wada’ah yangg diceritakannya sendiri. Seorang yang bernama ‘Abdullah bin Sulaiman mengatakan, bahwa anak perempuan Sa’id bin Musayyab pernah dipinang oleh Khalifah Abdul-Malik bin Marwan ( salah seorang Khalifah dari Dinasti Bani Umayyah) untuk dikawinkan dengan anak lelakinya yang bernama Al-Walid setelah ditabalkan sebagai pengganti pemerintahan ayahnya. Akan tetapi Sa’id bin Musayyab menolak dan tidak mau mengawinkan putrinya dengan Al-Walid.”
Alangkah besarnya perhatian seorang ulama dari kaum Tabi’in ( Sa’id bin Musayyab) terhadap masa depan putrinya, tanpa berunding atau menanyakan terlebih dulu kesediaan putrinya dimana ia terus mengawinkannya dengan ‘Abdullah bin Wada’ah. Sa;id melakukan semua itu karena ia tahu dan yakin sepenuhnya bahwa putrinya akan menjadi isteri seorang ahli taqwa, shalih dan benar-benar takut kepada Allah SWT.

إِذَا جَآءَكُمْ مَن تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ

“Jika datang seorang lelaki kepada kamu ( untuk meminang anak perempuan kamu) dan kamu puas melihat penghayatan agamanya dan akhlaknya, maka kawinkanlah dia.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar